INFORMASIMU.COM, JAKARTA – Menurut Badan Narkotika Nasional, pada tahun 2019 Indonesia adalah negara yang berada di peringkat pertama di Asia Tenggara dalam penyalahgunaan narkotika. Mulai dari lingkungan kecil sampai atas, dari warga, artis sampai dengan pejabat yang telah terhukum dan menjalani rehabilitasi oleh Pengadilan Negeri.
Dalam setiap perkara narkotika, sebenarnya para penegak hukum hingga pemutus perkaranya mesti berangkat dari aturan yang sama, yaitu Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Undang-Undang itu merupakan regulasi ‘khusus’ yang menyimpang dari sistem pemidanaan yang selama ini berlaku di Indonesia.
Dikatakan ‘khusus’ karena undang-undang ini menganut double track system pemidanaan bagi penyalah guna untuk diri sendiri dengan kewajiban bagi seluruh lembaga pengadilan di Indonesia untuk menghukum rehabilitasi. Adapun pengedarnya dihukum penjara atau mati.
Namun, di wilayah Indonesia lainnya masih saja terdapat putusan hakim terhadap penyalah guna narkotika dijatuhkan pidana penjara tidak disertai rehabilitasi.
Ini tentu mengabaikan esensi dari regulasi yang sudah ada. Bahkan, menyebabkan permasalahan dalam sejarah perundang-undangan di Indonesia.
Efek lain dari hal tersebut menyebabkan beban bagi negara yang harus membiayai terpidana narkotika selama menjalani masa pidananya di dalam lembaga pemasyarakatan.
Narkotika itu sendiri menurut Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.
Tindak pidana yang berhubungan dengan narkotika dikualifikasikan menjadi beberapa bentuk tindak pidana, namun yang sering terjadi di masyarakat adalah berhubungan dengan pemakai dan pengedar narkotika.
Jika berbicara tentang pengedar narkotika, sudah jelas kiranya telah terjadi interaksi antara pengedar dan pembeli narkotika, keduanya merupakan pelaku tindak pidana narkotika.
Akan tetapi, jika kita berbicara tentang pemakai narkotika, sejauh ini masih terdapat perbedaan sudut pandang mengenai pemakai narkotika. Hukum positif menyatakan, pemakai narkotika adalah pelaku tindak pidana karena telah memenuhi kualifikasi dalam undang-undang narkotika.
Menurut Pasal 112 menyatakan setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun, dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.800 juta dan paling banyak Rp 8 milyar. Pasal itulah yang membuat para korban pengguna narkoba bisa di penjara.
Dalam konsep rehabilitasi hakim dapat memutuskan pengguna narkoba untuk menjalani rehabilitasi medis maupun rehabilitasi sosial dalam upaya mengembalikan pengguna untuk hidup normal kembali.
Penulis berkeyakinan bahwa rehabilitasi jauh lebih baik dari pada penjara. Jika pengguna direhabilitasi maka mereka akan pulih dari ketergantungannya dan enggan mengkonsumsi barang haram lagi.
Pasalnya konstruksi hukum di negeri ini menganut double track system pemidanaan, yang pada intinya, pengguna yang diputus pidana maka pidananya dijalankan untuk rehabilitasi. Rehabilitasinya tidak dilaksanakan di dalam lembaga pemasyarakatan tetapi ditempat khusus untuk rehabilitasi.
Rehabilitasi merupakan salah satu cara untuk menyelamatkan korban pengguna narkotika dari ketergantungan.
Karena pengertian dari rehabilitasi adalah usaha untuk memulihkan pecandu dari ketergantungan narkotika dan hidup normal sehat jasmani dan rohani sehingga dapat menyesuaikan dan meningkatkan kembali keterampilannya, pengetahuannya, kepandaiannya, pergaulannya dalam lingungan hidup atau atau dengan keluarga yang disebut dengan resosialisasi.
Pada Pasal 54 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika disebutkan bahwa Pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan sosial.
Pasal 103 UU Narkotika memberi kewenangan hakim memerintahkan pecandu dan korban penyalahguna narkotika sebagai terdakwa menjalani rehabilitasi melalui putusannya jika mereka terbukti bersalah menyalahgunakan narkotika.
Terkait penerapan Pasal 103 UU Narkotika ini, MA mengeluarkan SEMA Nomor 4 Tahun 2010 jo SEMA Nomor 3 Tahun 2011 tentang Penempatan Penyalahguna, Korban Penyalahgunaan, dan Pecandu Narkotika dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial.
Menurut SEMA Nomor 4 Tahun 2010 yang dapat dijatuhkan tindakan rehabilitasi yakni terdakwa tertangkap tangan penyidik Polri dan BNN; saat tertangkap tangan ditemukan barang bukti pemakaian 1 hari; adanya surat keterangan uji laboratorium positif menggunakan narkotika berdasarkan permintaan penyidik; adanya surat keterangan dari psikiater pemerintah yang ditunjuk hakim; tidak terbukti yang bersangkutan terlibat dalam peredaran gelap narkotika.
Syarat tersangka, terdakwa yang dapat direhabilitasi medis atau sosial dalam perspektif jaksa penuntut umum yakni positif menggunakan narkotika (BAP hasil laboratorium); ada rekomendasi Tim Asesmen Terpadu; tidak berperan sebagai bandar, pengedar, kurir atau produsen; bukan merupakan residivis kasus narkotika; dan saat ditangkap atau tertangkap tangan tanpa barang bukti atau dengan barang bukti yang tidak melebihi jumlah tertentu.
Pidana penjara bagi korban penyalahgunaan Narkotika merupakan perampasan kemerdekaan dan mengandung sisi negatif sehingga tujuan pemidanaan tidak dapat diwujudkan secara maksimal. Sedangkan Rehabilitasi dimaksudkan agar penyalahgumaan yang dikategorikan pecandu ini bebas dari ketergantungannya. Bukannya lepas atau pun bebas dari pemidanaan seperti halnya penjara, tapi mereka dibina.
Jika di dalam penjara Bukannya terjadi pembinaan di lembaga pemasyarakatan malah penyalahguna makin parah bisa hasilnya putusan hakim tidak membawa manfaat bagi penyalahguna dan kemudian orang tersebut kembali kemasyarakat tidak akan menjadi orang yang lebih baik.
Jadi menurut penulis rehabilitasi adalah hukuman yang efektif dalam menekan kasus narkotika di Indonesia.
Referensi
UU No.35 Tahun 2009
SEMA No.04 Tahun 2010
Komentar tentang post